LEGENDA GUNUNG PINANG SERANG - BANTEN.Selaku warga kabupaten Serang Propinsi Banten,
rasanya kurang elok jika tidak tahu tentang legenda Gunung Pinang. Kali ini
penulis akan mencoba menuliskan tentang Legenda Gunung Pinang yang didapatkan
dari berbagai sumber.
Gunung Pinang terletak di Kabupaten Serang, Banten,
tepatnya di samping jalur lalu lintas Serang-Cilegon. Menurut cerita, gunung
yang sering menjadi tempat piknik ini merupakan penjelmaan perahu seorang
saudagar kaya yang bernama Dampu Awang. Peristiwa apakah yang menyebabkan
perahu Dampu Awang menjelma menjadi Gunung Pinang? Kisahnya dapat ikuti dalam
cerita Legenda Gunung Pinang berikut ini.
Alkisah, di sebuah perkampungan nelayan di daerah
pesisir teluk Banten, hiduplah seorang janda tua dengan anak laki-lakinya yang
bernama Dampu Awang. Sejak kematian sang Ayah beberapa tahun silam, Dampu Awang
harus bekerja keras membantu ibunya mencari kerang di pantai. Sudah
bertahun-tahun mereka melakoni pekerjaan itu, namun hidup mereka tetap serba
kekurangan. Dompu Awang yang telah berusia remaja itu sudah jenuh dan bosan
dengan keadaan tersebut. Ia berpikir bahwa jika ia tetap tinggal di kampungnya,
nasib keluarganya tidak akan berubah. Dengan begitu, timbullah keinginannya
untuk merantau ke Negeri Malaka.
Gunung Pinang Serang - Banten |
Pada suatu malam, Dampu Awang menyampaikan niat
itu kepada ibunya. Tanpa diduganya, perempuan yang telah melahirkannya itu
tidak merestuinya. Walaupun ia telah memberikan berbagai alasan dan rayuan,
sang Ibu tetap tidak merestuinya pergi.
“Ibu tidak akan mengizinkanmu pergi, Anakku,”
cegah ibunya.
“Tapi, Bu!” sergah Dampu Awang.
“Sudahlah, Dampu! Ibu mengerti perasaanmu bahwa
kamu sudah tidak tahan lagi hidup menderita seperti ini. Tapi, jika kamu pergi
siapa lagi yang akan menemani Ibu di sini, Anakku!” ujar ibunya.
“Bu! Dampu berjanji, kalau sudah berhasil, Dampu
akan segera kembali menemani dan membahagiakan Ibu. Kita akan membangun rumah
mewah seperti rumah para bangsawan di kampung ini,” bujuk Dampu Awang.
“Sudahlah, Dampu! Berhentilah berhayal seperti
itu! Ibu sudah lelah mendengar semua bujuk rayumu. Ibu akan merasa bahagia jika
kamu tetap berada di samping Ibu,” ujar ibu Dampu seraya merebahkan tubuhnya di
atas balai-balai
bambu.
Dampu Awang tidak dapat lagi berkata-kata. Ia
mengerti perasaan ibunya, meskipun di hatinya tersimpan rasa kecewa. Dengan
langkah pelan, ia keluar dari gubuknya lalu duduk bersandar pada pohon nyiur
sambil menikmati semilir angin malam pantai teluk Banten. Pandangangnya tajam
seolah-olah menembus kegelapan malam. Pikirannya terbang nun jauh di sana
meninggalkan kepenatan hidup dan kekecewaan atas sikap ibunya. Di wajahnya
terpancar secercah sinar harapan yang akan menerangi hidupnya.
“Ya, Tuhan! Tolong bukakanlah pintu hati Ibu
hamba agar ia
mengerti bahwa di Negeri Malaka sana banyak sekali pekerjaan yang akan membuat
hamba menjadi kaya raya,” ucap Dampu Awang dengan penuh harapan.
Tanpa disadarinya, sang Ibu sedang
memerhatikannya dari balik jendela. Perempuan setengah baya itu tak kuasa
membendung air matanya. Ia merasa bersalah karena telah mengecewakan anak
semata wayangnya. Malam semakin larut. Janda tua itu kembali merebahkan
tubuhnya hingga tertidur lelap. Tak berapa lama kemudian, Dampu Awang masuk ke dalam
gubuk, lalu tidur di samping ibunya.
Keesokan paginya, perempuan tua itu menghampiri
Dampu Awang yang baru saja terbangun.
“Dampu, Anakku!” sapa ibunya dengan lembut.
“Ada apa, Bu?” tanya Dampu sambil menatap wajah
ibunya.
Dampu melihat ibunya tersenyum. Ada kehangatan
cinta yang terpancar dari tatapan mata ibunya.
“Dampu, Anakku! Ibu tidak bermaksud melarangmu
merantau. Tapi, ketahuilah! Umur Ibu sudah udzur. Ibu khawatir kelak kita
takkan bertemu lagi. Ibu tidak memiliki siapa-siapa lagi dunia ini selain
dirimu, Anakku!” ujar ibunya dengah penuh rasa haru.
“Tenanglah, Bu! Dampu tidak akan lama di
perantauan. Setelah berhasil, Dampu akan segera pulang menemani Ibu di sini,”
hibur Dampu Awang.
Ibunya kembali tersenyum lembut.
“Baiklah, Anakku! Jika itu sudah menjadi tekadmu,
Ibu mengizinkan kamu pergi. Tapi ingat! Kamu harus berjanji cepat kembali jika
sudah berhasil,” ujar ibunya.
Betapa bahagia hati Dampu Awang mendapat restu
dari ibunya. Tubuhnya terasa mendapat kekuatan yang luar biasa. Darah di
tubuhnya yang semula serasa membeku kembali mengalir. Ia tidak mampu lagi
menyembunyikan perasaan bahagianya. Air matanya menetes membasahi kedua
pipinya.
“Terima kasih, Bu! Dampu berjanji akan segera
kembali untuk membahagiakan Ibu,” ucap Dampu Awang seraya memeluk ibunya.
“Iya, Anakku! Sekarang persiapkanlah
barang-barang yang akan kamu bawa pergi. Besok pagi ada kapal yang akan
berangkat ke Negeri Malaka. Pergilah temui Teuku Abu Matsyah pemilik kapal itu!
Barangkali saja dia bersedia membawamu pergi berlayar bersamanya,” ujar ibunya.
Setelah menyiapkan bekalnya, Dampu Awang segera
menemui Teuku Abu Matsyah di pelabuhan.
“Tuan! Bolehkah saya ikut berlayar bersama Tuan?
Tapi maaf Tuan, saya tidak mempunyai uang untuk membayar ongkos kapal. Kalau
Tuan berkenan, saya akan membayarnya dengan tenaga,” pinta Dampu.
Melihat ketulusan hati Dampu, Teuku Abu Matsyah
pun memenuhi permintaannya. Dengan perasaan gembira, Dampu segera kembali ke
rumahnya. Alangkah bahagianya hati ibunya mendengar berita gembira itu.
Keesokan harinya, sebelum Dampu Awang berangkat
ke Pelabuhan, ibunya menitipkan kepadanya seekor burung perkutut bernama si
Ketut.
“Anakku! Bawalah si Ketut pergi bersamamu! Burung
ini peliharaan ayahmu dulu ketika masih hidup. Burung ini sangat mahir sebagai
pengantar pesan. Kamu harus selalu mengirimi Ibu kabar. Jaga dan rawatlah dia
dengan baik seperti kamu menjaga Ibu, ya Nak!” ujar ibunya.
“Baik, Bu! Dampu berjanji akan mengirim surat
kepada Ibu setiap awal bulan purnama,” jawab Dampu.
Setelah itu, berangkatlah Dampu bersama ibunya ke
pelabuhan. Setibanya di pelabuhan, Teuku Abu Matsyah sudah menunggunya. Usai
menyalami ibunya, Dampu Awang segera naik ke atas kapal. Tak berapa lama
kemudian, ia pun terlihat berdiri di anjungan kapal sambil melambaikan tangan.
“Ibu… Dampu berangkat! Jaga diri Ibu baik-baik!”
teriak Dampu dari anjungan kapal.
“Iya, Dampu! Hati-hati di jalan! Jangan lupa
cepat kembali, ya Nak!” jawab janda tua itu.
Dengan diiringi isap tangis ibunya, Dampu Awang
meninggalkan pelabuhan Banten menuju Negeri Malaka. Untuk mengganti ongkos
kapal, ia ditugaskan oleh Teuku Abu Matsyah membersihkan seluruh galangan
kapal. Dampu Awang sangat rajin dan tekun bekerja. Tak heran jika ia mendapat
perhatian dari saudagar kaya itu.
“Hai, Dampu! Apa yang akan kamu kerjakan di
Nengeri Malaka?” tanya Teuku Abu Matsyah.
“Belum tahu, Tuan! Saya baru akan mencari
pekerjaan setibanya di sana nanti,” jawab Dampu Awang.
`Kalau begitu, maukah kamu ikut bekerja
denganku?” bujuk saudagar kaya itu.
Tanpa berpikir panjang, Dampu Awang menerima
tawaran tersebut dengan senang hati. Sejak Dampau ikut dengannya, usaha Teuku
Abu Matsyah semakin maju dan berkembang, sehingga dalam waktu tidak berapa lama
ia mampu membeli sebuah kapal lagi. Karena itu, saudagar itu semakin sayang kepada
Dampu hingga bermaksud menikahkan dia dengan putrinya yang bernama Siti
Nurhasanah.
Pada mulanya, Dampu Awang menolak tawaran itu,
karena merasa dirinya sebagai anak buah tak pantas menikah dengan putri
juragannya.
“Maaf Juragan! Saya tidak bermaksud menolak niat
baik Juragan. Tapi, apakah saya pantas menjadi pendamping hidup putri Juragan?”
kata Dampu Awang dengan merendah.
Teuku Abu Matsyah hanya tersenyum sambil
mengelus-elus jenggotnya yang mulai memutih.
“Jangan khawatir, Dampu! Setelah kalian menikah
nanti, aku akan mengangkatmu menjadi nahkoda kapal dan mewariskan semua harta
kekayaanku kepada kalian,” ujar Teuku Abu Matsyah.
Akhirnya, Dampu Awang dan Siti Nurhasanah menikah
dan hidup bahagia. Beberapa bulan setelah mereka menikah, ayah Siti Nurhasanah
meninggal dunia. Sejak itu, Dampu dan istrinya mewarisi seluruh harta kekayaan
Teuku Abu Matsyah. Ia pun terkenal sebagai saudagar kaya di Negeri Malaka. Ia
hidup dengan penuh kemewahan dan bergelimang harta, sehingga melupakan ibunya
yang berada di kampung halaman. Setelah lima tahun di perantauan, tiba-tiba
timbul kerinduannya ingin kembali ke tanah kelahirannya di Banten.
Pada suatu hari, berangkatlah Dampu Awang bersama
istri dan para pengawalnya ke Banten dengan menggunakan kapal besar dan megah. Setelah
berhari-hari mengarungi lautan luas, tibalah mereka di pelabuhan Banten. Berita
tentang kedatangan kapal besar dan megah itu tersebar ke seluruh pelosok negeri
Banten. Setiap penduduk ramai membicarakan kemegahan kapal itu. Mereka
bertanya-tanya siapa gerangan pemiliknya. Karena penasaran, para penduduk
Banten berbondong-bondong menuju ke pelabahun. Di antara kerumunan orang
banyak, tampak seorang perempuan tua dengan wajah sumringah dan pakaian lusuh
baru saja tiba. Dia adalah ibu kandung Dampu Awang.
“Wah, jangan-jangan pemilik kapal itu adalah
putraku,” ucap ibu Dampu Awang.
Ibu Dampu Awang berusaha menyusup di antara
kerumunan orang banyak untuk melihat kapal itu lebih dekat. Ketika mendekat, ia
melihat seorang pemuda gagah berdiri di anjungan kapal bersama seorang putri
cantik. Mulanya, perempuan tua itu ragu kalau pemuda itu adalah putranya, Dampu
Awang. Tapi, setelah melihat ada seekor burung perkutut bertengger di pundak
pemuda itu, barulah ia merasa yakin bahwa pemuda itu anaknya yang selama ini
dirindukannya.
“Oh Dampu Awang, Anakku! Akhirnya, kamu pulang
juga,” ucapnya dengan perasaan bahagia.
Perempuan tua itu kemudian berteriak memanggil
anaknya.
“Dampuuu…! Dampu Awang, Anakku! Ini Ibu, Nak!”
teriaknya sambil melambai-lambaikan tangan di antara kerumunan orang.
Mendengar teriakan itu, Dampu Awang segera
mencari sumber suara teriakan itu. Namun, ketika melihat orang yang berteriak
itu adalah seorang nenek yang berwajah lusuh dan berpakaian compang-camping, ia
segera mengalihkan pandanganya. Ia malu mengakui nenek tua itu sebagai ibunya
di hadapan istrinya. Melihat sikap suaminya, Siti Nurhasanah menjadi
terheran-heran.
“Hai, Kanda! Kenapa Kanda memalingkan wajah?
Bukankah nenek itu mengaku sebagai ibu Kanda? Benarkah dia Ibu Kanda?” tanya
Siti Nurhasanah.
“Tidak, Dinda! Perempuan tua itu bukan ibu
Kanda!” tampik Dampu Awang. “Ibu Kanda kaya raya dan cantik, tidak seperti
nenek yang miskin dan keriput itu!”
“Tapi Kanda, nenek itu terus memanggil-manggil
nama Kanda,” kata istri Dampu.
“Sudahlah, Dinda! Tidak usah hiraukan nenek
keriput itu. Dia hanya mengada-ada,” ujar Dampu Awang.
Usai berkata begitu kepada istrinya, Dampu Awang
membentak nenek itu dan mengusirnya.
“Hai, perempuan tua! Pergilah dari sini! Aku
tidak pernah mempunyai Ibu seperti dirimu,” bentak Dampu Awang.
Perempuan malang itu bagai disambar petir di
siang bolong mendengar bentakan itu. Hatinya bagai teriris-iris mendapat
perlakuan tidak senonoh dari darah dagingnya sendiri. Ia tertunduk lesu seraya
meneteskan air mata. Harapan, kebahagiaan, dan penantiannya selama
bertahun-tahun telah lenyap begitu saja. Ia duduk bersimpuh memohon doa kepada
Tuhan Yang Mahakuasa dengan penuh khusyuk.
“Oh, Tuhan! Jikalau memang benar pemuda itu bukan
putra hamba, biarkanlah ia tetap pergi. Tapi, kalau dia putra hamba, Dampu
Awang, berilah ia pelajaran karena telah menyakiti perasaan ibunya sendiri,”
pinta ibu Dampu.
Ketika Dampu Awang bersama rombongannya akan
meninggalkan pelabuhan Banten, tiba-tiba langit menjadi gelap dan angin tertiup
kencang. Petir menyambar-nyambar kemudian diiringi hujan yang sangat deras.
Dalam sekejap, dunia serasa kiamat. Langit memuntahkan segala yang
dikandungnya. Bumi bergoncang dengan dahsyatnya. Air laut bergelombang setinggi
gunung. Seluruh penduduk berlarian meninggalkan pelabuhan untuk menyelamatkan
diri.
Sementara itu, Dampu Awang beserta anak buahnya
terombang-ambing di lautan. Kapalnya dipermain-mainkan oleh gelombang besar.
Seluruh penumpang kapal menjadi panik dan ketakutan. Dalam suasana panik
seperti itu, tiba-tiba terjadi keajaiban. Si Ketut tiba-tiba dapat berbicara
seperti manusia.
“Hai, Dampu Awang! Akuilah… akuilah… akuilah
ibumu!” seru si Ketut.
Dampu Awang tidak menghiraukan seruan si Ketut.
Ia tetap tidak mau mengakui ibunya.
“Tidak! Dia bukan ibuku! Dia bukan ibuku!” sergah
Dampu Awang.
“Akuilah…. akuilah… akuilah ibumu, Dampu Awang!”
si Ketut kembali berseru.
Berulang kali si Ketut berseru kepadanya, Dampu
Awang tetap saja menyangkal. Tanpa diduganya, tiba-tiba angin puyuh datang
dengan meliuk-liuk di atas laut menuju ke arah kapalnya. Tak ayal lagi,
kapalnya pun terseret masuk ke dalam pusaran angin puyuh, lalu terbang
berputar-putar di udara. Dalam keadaan panik, Dampu Awang berteriak kencang.
“lbuuu…! Ibuuu… tolong aku! Ini anakmu, Dampu
Awang!”
Namun apa hendak dibuat. Nasi telah menjadi
bubur. Tuhan telah murkah kepadanya. Kapalnya terus berputar-putar di udara
dipermainkan angin puyuh. Lama-kelamaan, kapal dan seluruh isinya terlempar
jauh ke arah selatan dan jatuh tertelengkup. Konon, perahu itu kemudian
menjelma menjadi sebuah gunung yang kini dikenal dengan nama Gunung Pinang.
Demikian cerita Legenda Gunung Pinang dari
Provinsi Banten. Pelajaran yang terkandung dari cerita di atas terlihat pada
sikap dan perilaku Dampu Awang, yaitu ia pemuda yang rajin dan tekun bekerja
serta memiliki tekad kuat untuk maju. Ia berani meninggalkan kampung halamannya
untuk memperbaiki nasib keluarganya. Alhasil, ia menjadi orang yang kaya raya
dan memperistri seorang gadis cantik nan rupawan.
Namun sayang, harta benda dan istri cantik yang dimilikinya telah membutakan
mata hati Dampu Awang. Ia tidak mau mengakui ibu kandungnya di hadapan istrinya
karena malu mempunyai seorang ibu yang miskin dan tua. Akibatnya, ia dan
kapalnya terseret angin puyuh hingga terlempar jauh dan akhirnya menjadi
gunung. Dari sini dapat dipetik pelajaran bahwa harta kekayaan, pangkat, dan
wanita cantik dapat membuat seseorang menjadi anak durhaka kepada orang tua.
Padahal, durhaka kepada orang tua merupakan salah satu dosa besar yang akan
ditanggung sendiri oleh si anak. Dikatakan dalam Tunjuk Ajar Melayu:kalau ibu bapak dileceh-lecehkan,
dosa besar tak diampuni tuhan
Dari berbagai sumber.
0 komentar:
Ungkapkan Saran Anda
Tell us what you're thinking... !